Origin Determination, Tantangan Bea dan Cukai di Masa Depan
Free Trade Agreement(FTA) merupakan perjanjian formal antar dua negara atau lebih yang mengatur kerja sama perdagangan dan isu terkait perdagangan lainnya, baik melalui penurunan hambatan tarif maupun non-tarif, serta pengaturan ketentuan-ketentuan perdagangan lainnya, guna meningkatkan perdagangan dan kerja sama ekonomi di antara negara anggotanya. Elemen-elemen utama dalam FTA, antara lain peningkatan akses pasar melalui pemberian tarif preferensi dan penurunan / penghapusan tarif, ketentuan asal barang, penurunan hambatan non-tarif, kemudahan prosedur kepabeanan, peningkatan akses pasar jasa, serta peningkatan kerja sama dan pengaturan investasi. Berdasarkan data World Trade Organization (WTO), dalam kurun waktu 20 tahun saja, jumlah FTA meningkat secara signifikan dari 247 FTA pada tahun 1999 menjadi 681 FTA pada tahun 2019 atau secara rata-rata terdapat 22 FTA baru yang ditandatangani dan diimplementasikan per tahun di dunia.
Figure 1. Data Jumlah FTA / RTA yang dicatat WTO
Untuk Indonesia sendiri, baru terdapat 10 FTA yang telah efektif diimplementasikan sampai tahun 2019, baik dalam kerangka bilateral maupun regional, yaitu ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA), ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Australia-New Zealand FTA, ASEAN-India FTA, ASEAN-Japan CEP, Indonesia-Japan EPA, Indonesia-Pakistan PTA, MoU Indonesia-Palestina, dan Indonesia-Chile CEPA. Jumlah FTA ini akan terus bertambah seiring dengan telah ditandatanganinya 5 (lima) perjanjian perdagangan baru, yang saat ini masih menunggu proses ratifikasi, yaitu Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-EU CEPA, ASEAN-Hongkong FTA, Indonesia-Mozambique PTA, dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sertamasih banyaknya perundingan perdagangan internasional yang dalam tahap on going negotiations.
Berdasarkan data utilisasi SKA yang diambil dari Excecutive Information System (EIS), jumlah pemanfaatan SKA impor dibandingkan dengan total importasi secara nasional untuk tahun 2019 (s.d. November 2019) adalah sebesar 33.85%. Jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 32.60% tahun 2016; 30.70% tahun 2017; 32.38% tahun 2018. Sedangkan berdasarkan nilai devisa impor, nilai importasi yang menggunakan SKA dibandingkan dengan nilai devisa impor total secara nasional untuk tahun 2019 adalah sebesar 31,24%. Jumlah ini juga mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu: 26,27% tahun 2016; 27,20% tahun 2017; 29,56% tahun 2018.
Dengan potensi makin meningkatnya pemanfaatan FTA pada tahun-tahun mendatang, selain memberikan potensi keuntungan dengan berkurangnya / hilangnya tarif bea masuk yang berakibat pada banyaknya pilihan bahan baku murah bagi industri atau beragamnya pilihan barang bagi konsumen akhir, FTA juga berpotensi besar untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Terlebih dengan semakin liberalnya Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) pada beberapa agreement yang menjadi tantangan tersendiri bagi Bea dan Cukai dalam meneliti dan mengawasi pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA). Ketentuan Asal Barang yang terdiri atas Origin Criteria (Kriteria Asal Barang), Consignment Criteria (Kriteria Pengiriman), dan Procedural Provision (Ketentuan Prosedural) terus mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, origin criteria barang yang pada dasarnya Wholly Obtained (WO), yaitu barang seluruhnya diperoleh, diproduksi, atau dibuat hanya di satu negara anggota pengekspor, saat ini telah bertransformasi menjadi beberapa origin criteria lain dengan pemenuhan persyaratan yang lebih mudah. Misalnya, ketentuan nilai tambah (value-added rule), ketentuan perubahan klasifikasi barang (change in tariff classification rule), atau produced exclusively, yang tidak mensyaratkan barang harus seluruhnya diperoleh, diproduksi, atau dibuat di satu negara anggota, tetapi dapat melibatkan beberapa negara.
Di sisi lain, consignment criteria (kriteria pengiriman) yang merupakan ketentuan pengiriman barang dari negara anggota pengekspor ke negara angota pengimpor, dan mensyaratkan tidak adanya aktivitas yang mengubah origin barang, juga mengalami perkembangan. Semakin banyak tuntutan dan agreement yang memberikan kemudahan pembuktian bagi pengguna jasa, tetapi di sisi lain memberikan tantangan yang lebih berat bagi Bea Cukai dalam memastikan tidak adanya proses yang mengubah origin selama barang dalam proses pengiriman.
Figure 3. Origin Criteria in Current FTAs
Pengalihan perdagangan sebagai salah satu potensi penyalahgunaan FTA bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan melakukan eksploitasi tarif terendah di antara beberapa negara, dengan memanfaatkan skema FTA yang telah diimplementasikan oleh negara anggota.
Sebagai contoh, ketika manufacturer di China (bukan Negara Anggota AANZ FTA) mengirimkan barang dengan tujuan akhir Australia yang memiliki tarif MFN 15%, tetapi pengirimannya dilakukan melalui Indonesia yang memiliki tarif MFN 5%. Australia dan Indonesia merupakan negara anggota AANZ FTA yang memiliki konsesi penurunan tarif preferensi 0%. Dengan modus tersebut, manufacturer di China memperoleh keuntungan atas selisih tarif MFN 10%.
Penyalahgunaan pemanfaatan FTA lainnya juga dapat dilakukan melalui pengaburan keasalan barang (origin fraud). Hal ini dilakukan dengan mengakui barang ekspor suatu negara sebagai produk negara yang bersangkutan, tanpa adanya proses produksi yang bersifat substansial, yang secara ketentuan tidak dapat dianggap sebagai barang negara yang bersangkutan. Praktik pengaburan origin ini dilakukan dengan melakukan pula perubahan pada dokumen origin (SKA), dokumen transaksi perdagangan, dan dokumen kepabeanan. Beberapa motif yang melatarbelakangi praktik ini, antara lain :
a. Untuk mendapatkan perlakuan preferensi;
b. Untuk menghindari ketentuan larangan dan pembatasan;
c. Untuk mendapatkan keuntungan dari pasar (mengurangi biaya); atau
d. Untuk menghindari kuota, anti-dumping, safeguard, dan lain sebagainya.
Langkah ke Depan
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut di atas, Bea Cukai selaku Receiving Authority, mempunyai tugas yang semakin berat dan menantang dalam memastikan SKA dimanfaatkan hanya untuk barang-barang yang memenuhi ketentuan origin dan hanya digunakan oleh pihak-pihak yang berhak. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan berkelanjutan dalam mengatasi makin bertambahnya jumlah FTA dan meningkatnya potensi variasi dalam penyalahgunaan FTA. Dalam upaya menciptakan lingkungan bisnis yang sehat, Bea Cukai harus dapat mengatasi kecurangan tersebut dan memperluas fokus pengawasan ke area yang berkaitan dengan origin.
Langkah mendesak yang harus dilakukan oleh Otoritas Bea Cukai dan lembaga terkait lainnya dalam mengantisipasi kondisi di atas, antara lain:
a. Pemahaman Ketentuan Asal Barang secara komprehensif pada semua lini organisasi (pelayanan, pengawasan, audit, dll);
b. Penggunaan Surat Keterangan Asal elektronik (Electronic Certificate of Origin) untuk menghindari potensi pemanfaatan SKA palsu atau dipalsukan;
c. Implementasi manajemen risiko untuk mempercepat pengeluaran barang, dengan tetap melakukan pemeriksaan SKA secara selektif;
d. Memanfaatkan teknologi dengan pengembangan / pengimplementasian Big Data dan Artificial Intelligent, melalui:
- Pemantauan data statistik perdagangan (tren dan variasi),
- Pemantauan tren dan variasi pengiriman barang,
- Pertukaran informasi antar negara anggota,
- Pemanfaatan data:
· Profil negara (jenis industri yang ada, bahan baku yang diimpor, sumber daya alam yang dimiliki, dsb);
· Profil eksportir (riwayat kecurangan keasalan barang, karakter bisnis, jenis bahan baku yang diimpor, proses produksi yang dilakukan, barang yang dihasilkan, dsb);
· Profil komoditas (komposisi bahan baku, proses produksi, struktur biaya, origin criteria, dsb);
· Profil importir (riwayat kecurangan keasalan barang, karakter bisnis, jenis barang yang diimpor, profil manajemen risiko, dsb);
· Profil broker (riwayat kecurangan keasalan barang, jenis barang yang diimpor, manajemen risiko, dsb);
- Dan lain-lain.
e. Pembentukan unit / bidang / atau jabatan khusus yang bertugas untuk melakukan analisis dan evaluasi secara berkala atas pemanfaatan SKA dan modus-modus yang mungkin terjadi.
Dengan upaya-upaya tersebut, besar harapan Bea Cukai dapat menghadapi tantangan FTA yang semakin kompleks, serta memastikan bahwa tarif preferensi hanya diberikan kepada pihak yang berhak dan hanya untuk barang impor yang memenuhi ketentuan asal barang. Dengan demikian, FTA dapat menjadi pendorong industri, perekonomian, dan meningkatkan daya saing Indonesia, bukan sebaliknya malah menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi negara partner perdagangan internasional.
Figure 4. Trade Deflections