Mengulik Filosofi Cukai dan Strategi Kebijakan Publik
Bea Masuk dan Cukai merupakan salah satu dari tujuh sektor pajak yang dikategorikan berdasarkan jenis sumber Penerimaan Perpajakan. Cukai itu sendiri setiap tahunnya berkontribusi lebih kurang sebesar 10?ri total penerimaan pajak. Namun, sejatinya cukai merupakan suatu instrument fiskal yang tak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan negara, melainkan terdapat fungsi lain yang secara makro berpengaruh pada keseimbangan perekonomian dan perilaku masyarakat.
Mengulik lebih rinci mengenai dasar pengenaan cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menyelenggarakan sosialisasi daring dengan tema Cakap Cukai yang terbagi menjadi dua sesi, yaitu pada Senin 3 Agustus 2020 dan Kamis 6 Agustus 2020, yang tak hanya diikuti oleh pegawai DJBC itu sendiri namun juga generasi milenial akademisi dan masyarakat luas.
“Kita tingkatkan pemahaman masyarakat mengenai jenis pajak yang satu ini (cukai), dimulai dari teori dasar maupun kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi dalam sambutannya di awal acara.
Sosialisasi ini menghadirkan narasumber tersohor yang namanya sudah tidak asing lagi, antara lain Muhammad Chatib Basri selaku Menteri Keuangan periode tahun 2013-2014, Permana Agung selaku Direktur Jenderal Bea dan Cukai periode tahun 1999-2002, Artidiatun Adji, Ph.D. selaku Deputy Director P2EB FEB UGM, Vid Adrison, M.A., Ph.D. selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI.
Dilihat dari sudut pandang filsafat, awal mulanya cukai dikenal dengan istilah “Sin Tax”, dikarenakan pungutannya ditetapkan terhadap barang-barang tertentu yang konsumsinya dapat berdampak buruk baik bagi diri konsumen itu sendiri maupun ke masyarakat lainnya, seperti alcohol, rokok, obat-obatan tertentu, gula, kopi, dan lain sebagainya.
Dewasa kini, cukai tidak hanya dipandang sebagai sebatas pungutan negara, tetapi secara makro cukai sebagai instrument fiskal. Fungsinya selain menambah potensi sumber pendapatan negara, cukai juga berperan sebagai suatu alat yang mengendalikan konsumsi terhadap suatu barang.
Di Indonesia, barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negative bagi lingkungan, dan dibebankan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, disebut Barang Kena Cukai (BKC), yang diatur oleh-oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Cukai memiliki dua fungsi, antara lain budgetair yaitu alat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya uang ke kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, dan regulerend yaitu alat untuk mengatur, mendorong, dan mengendalikan kegiatan ekonomi ke arah yang lebih baik dan efisien.
Menyeimbangkan kedua fungsi tersebut tidaklah mudah, karena diperlukan kebijakan yang tepat demi mengoptimalkan keduanya. Sehingga pemerintah akan terus memperbarui ketentuan, melalui beberapa langkah seperti simplikasi aturan dan ekstensifikasi cukai, serta sinkronisasi antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Cukai.
Sosialisasi ini diharapkan dapat menambah wawasan para peserta lebih mendalam mengenai filosofi cukai dan strategi kebijakan publik dalam mengatur pungutan negara terhadap objek pajak tertentu.