The 25th Regional Comprehensive Economic Partnership - Trade Negotiating Committee (RCEP-TNC) and Related Meetings

Mengapa RCEP membutuhkan semangat yang sama dan dukungan lebih besar?

The Regional Comprehensive Economic Partnership-Trade Negotiating Committee (RCEP-TNC)atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional merupakan kerjasama integrasi sepuluh negara anggota ASEAN dengan enam mitra dagang, yakni Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru dalam sebuah skema perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) di tingkat regional.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai salah satu institusi utama yang secara aktif bertindak selaku anggota tim perunding RCEP-TNC bersama-sama Kementerian Perdagangan sebagai focal point kembali menghadiri pertemuan the RCEP-TNC ke-25 pada tanggal 19 s.d. 28 Februari 2019 yang lalu di Bali dalam rangka mengawal setiap perundingan khususnya yang terkait dengan tugas dan fungsi DJBC, seperti Working Group on Trade in Goods (WG-TIG) yang membawahi Sub Working Group on Rules of Origin (SWG-ROO), Working Group on E-Commerce (WG-EC), dan Working Group on Intellectual Property (WG-IP), untuk lebih mematangkan posisi Indonesia baik di level caucus ASEAN maupun plenary RCEP agar setiap klausul perjanjian RCEP bidang perdagangan, E-Commerce, dan kekayaan intelektual dapat memenuhi nilai ekspektasi yang tinggi bagi kepentingan semua pihak.

DJBC bertindak selaku institusi yang diberi wewenang untuk mengharmonisasikan tarif dan prosedur kepabeanan agar sejalan dengan ketentuan undang-undang dengan memperhatikan tingkat sensitifitas produk masing-masing negara anggota dan urgensi penyelesaian di tengah dinamisnya proses negosiasi di setiap putaran perundingan.

Setelah hampir tujuh tahun dan melewati 25 putaran tawar-menawar, perundingan RCEP yang semula merupakan konsep ASEAN pada tahun 2011 ketika beberapa negara ASEAN seperti Indonesia merasa bahwa negara-negara anggota perlu untuk lebih mengkonsolidasikan lima perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan mitra dialog -- Australia-Selandia Baru, China, Jepang, Korea Selatan, dan India – dan ketika RCEP-TNC dimulai tahun 2012, tidak berhasil memenuhi target penyelesaian pada akhir tahun 2018 lalu. ASEAN FTA yang sudah ada hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk menyelesaikan setiap tahapan perundingan hingga terimplementasi, sementara RCEP hingga 7 tahun terakhir misalnya untuk draft text Rules of Origin yang merupakan inti dari setiap perundingan FTA baru menyelesaikan 25% (10 dari 40 artikel) yang dibahas. Jika 10 artikel diselesaikan dalam 7 tahun, artinya perundingan RCEP akan rampung dalam waktu 24 tahun (tahun 2037). Adapun beberapa kendala perundingan RCEP-TNC dalam mencapai konvergensi yang dibutuhkan dapat diidentifikasi, diantaranya adalah kesenjangan kekuatan ekonomi, perbedaaan target liberalisasi, ketidakseimbangan Political Will  dan komitmen diantara pemerintah tiap-tiap negara anggota RCEP, faktor internal seperti ketidakseimbangan tingkat kompetisi dan sensitivitas barang dan jasa, perbedaan prioritas kerjasama perdagangan bebas (masing-masing negara memiliki komitmen FTA sendiri di tingkat bilateral, regional maupun multilateral) serta faktor eksternal seperti adanya tantangan ekonomi global, peta geopolitik dan perang dagang AS-China.

Mempertimbangkan mandat yang disampaikan Presiden Republik Indonesia pada pertemuan the 33rd ASEAN Summit pada tanggal 11 s.d. 15 November 2018 di Singapura agar segera menyelesaikan perundingan RCEP-TNC and Related Meetings tahun 2019 ini, serta memperhatikan tekanan yang cukup besar dari hasil pertemuan para menteri perdagangan dari 16 negara anggota RCEP (the 7th Intersessional RCEP Ministerial Meeting) di Siem Reap awal bulan Maret lalu agar tim teknis lebih positif dan konstruktif dalam mencoba menyelesaikan isu perbedaan persepsi dan konsepsi, RCEP menjadi suatu keniscayaan dimana untuk bergerak maju di titik kritis ini, semua negosiator  harus dapat menyepakati langkah-langkah selanjutnya untuk mempersempit kesenjangan pada isu-isu terkait akses pasar dan pengurangan tarif di antara anggota. Kesulitan Indonesia khususnya dan ASEAN pada umumnya adalah bahwa kadang-kadang sulit untuk bersatu pada posisi ASEAN sendiri, bagi anggota RCEP masih adanya saling mengusung strategi “trade-off” atau keuntungan timbal balik, serta mencampuri pengalaman mereka dalam menegosiasikan FTA lain dengan RCEP.

Dua belas pertemuan negosiasi RCEP tahun ini sudah dijadwalkan termasuk pertemuan intersesi antar working group maupun tingkat menteri yang hasilnya akan disajikan bulan November 2019 ini di the 3rd RCEP Summit di Thailand. Apakah faktor-faktor penghambat perundingan akan dieliminir secara perlahan atau akan tereskalasi oleh pesta demokrasi yang terjadwal tahun ini di empat negara anggota RCEP yaitu Australia, India, Indonesia, dan Thailand, akan sangat ditentukan oleh kemauan politik dan komitmen mendalam para pemimpin mereka untuk mengingatkan para negosiator tentang keunikan RCEP dan perlakuannya terhadap berbagai tingkat pembangunan ekonomi. Tidak seperti Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik, atau CPTPP (Comprehensive and Progressive Trans Pacific Partnership) dimana 7 dari 11 anggotanya adalah anggota RCEP, kerangka kerja RCEP memberikan perlakuan istimewa dan lebih banyak fleksibilitas untuk ekonomi yang kurang berkembang.Di luar RCEP, ketidakpastian global telah memberikan urgensi untuk segera menyimpulkan RCEP, jika tidak, proses negosiasi akan kehilangan kilau dan kredibilitasnya.