DUKUNG PEREKONOMIAN DALAM NEGERI, AEO INDONESIA KIAN TUNJUKKAN EKSISTENSI

 

Jakarta (20/02/2017) - Kebutuhan akan jaminan keamanan dan kondisi ideal rantai pasokan logistik yang bergerak cepat namun aman dari segala potensi pelanggaran, mendorong Bea Cukai untuk ikut serta mengimplementasikan program Authorized Economic Operator (AEO). Program ini diinisiasi oleh World Customs Organization (WCO) dengan menerbitkan aplikasi SAFE Framework of Standards (SAFE FoS) pada Juni 2005. SAFE FoS merupakan standardisasi keamanan dan fasilitasi terhadap mata rantai pasokan perdagangan internasional untuk meningkatkan kepastian dan kemudahan pemantauan arus barang yang dapat diprediksi.

Secara sederhana, AEO adalah operator ekonomi yang terlibat dalam pergerakan barang dalam rantai pasokan yang diakui secara internasional karena telah memenuhi standar WCO SAFE FoS. Seperti dituturkan Direktur Teknis Kepabeanan Oza Olavia, perusahaan yang bisa mendapatkan sertifikasi AEO adalah perusahaan-perusahaan yang terkait dengan rantai pasokan. “Perusahaan-perusahaan yang berhak mendapatkan sertifikat AEO bukan hanya eksportir dan importir saja, namun perusahaan-perusahaan lain yang terkait dengan supply chain, seperti Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, pengangkut, dan lainnya,” terang Oza.

Berawal dari lima perusahaan sebagai perusahaan percontohan yang tersertifikasi AEO pada Maret 2015, saat ini sudah ada 44 perusahaan dengan 46 sertifikasi AEO karena ada perusahaan yang mendapatkan dua sertifikasi sekaligus. Tidak hanya di Indonesia, jumlah perusahaan yang tersertifikasi AEO di negara-negara anggota WCO lainnya juga semakin  bertambah. Jumlah perusahaan AEO pada tahun 2016 yaitu 9 perusahaan, membawa Indonesia berada pada peringkat 30 dunia. Di Asia Pasifik, Indonesia berada pada peringkat 12, dan peringkat 5 di ASEAN. Jumlah ini tentunya masih belum dapat dibandingkan dengan Kanada, Amerika Serikat, dan China yang telah menerbitkan ribuan sertifikat AEO, namun Indonesia tetap optimis jumlah perusahaan tersertifikasi AEO akan semakin bertambah.

Untuk proses pengajuan sertifikasi, perusahaan mengirimkan surat permohonan ke Bea Cukai dan kemudan akan diperiksa profil perusahaannya. Selanjutnya akan dilakukan validasi lapangan dan perusahaan tersebut harus memenuhi 13 persyaratan sebagai perusahaan AEO. “Intinya harus memenuhi 13 persyaratan, diantaranya kepatuhan dalam hal bea cukai, persyaratan pasokan rantai logistik, keamanan data keuangan, Keamanan IT-nya, standar pendidikan terkait rantai pasokan, misalkan standar training ke pegawai,  dan adanya standar-standar jika terjadi kebakaran atau kecelakaan. Lalu diadakan forum panel di Bea Cukai apakah perusahaan ini benar-benar kredibel untuk diberikan sertifikat AEO,” jelas Oza.

Dengan memakai sumber data dari Bea Cukai Tanjung Priok tahun 2016, AEO dan MITA memberikan kontribusi penurunan dwelling time di pelabuhan bongkar sebesar 30% dari penjaluran lain atau rata-rata 2,6 hari. Hal ini tentunya akan berdampak positif pada biaya karena semakin cepat proses pengeluaran barang tentu biaya yang dikeluarkan juga semakin berkurang. Perhitungan di Tanjung Priok untuk efisiensi biaya logistik turun 34% dari biaya normal. Masih berdasarkan data di Tanjung Priok, dari segi penerimaan, perusahaan AEO dan MITA menyumbangkan 29,3% penerimaan negara yaitu dari Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor.

Disamping dwelling time dan penerimaan, Bea Cukai juga diuntungkan dari sudut penghematan sumber daya. Oza Olavia mengungkapkan, “Kita sudah tau persis bahwa klien kita ini adalah klien yang dapat dipercaya, sehingga otomatis sumber daya bisa dihemat. Artinya kalau perusahaan-perusahaan lain butuh 10 orang pegawai Bea Cukai untuk mengawasi, maka untuk perusahaan dengan sertifikasi AEO tidak butuh sebanyak itu karena pengawasan hanya dilakukan melalui sistem saja.”